Borneo Review https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review <p><strong>Borneo Review: Jurnal Lintas Agama dan Budaya</strong> is religious dan cultural interdisciplinary studies that welcoming and acknowledging theoretical and empirical research papers and literature reviews from researchers, academics, professional, practitioners and students.This publication concern includes studies of world religions such as <em>Christianity, Buddhism, Hinduism, Judaism, Islam</em> and other religions. Interdisciplinary studies may include the studies of religion in the fields of<em> anthropology, sociology, philosophy, psychology,</em> and other <em>cultural</em> studies. The article manuscript can be written in <em>Bahasa Indonesia</em> or <em>English</em>.</p> en-US pherkulanus@gmail.com (Herkulanus Pongkot) meman86@gmail.com (Oktavianey GPH. Meman) Tue, 31 Dec 2024 00:00:00 +0000 OJS 3.2.1.1 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 Allah Dalam Budaya Bejopai Nugal (Nilai-Nilai Keilahian dalam Budaya Bejopai Nugal Suku Dayak Kubint) https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/477 <div><span lang="EN-US">Terdapat berbagai budaya di suku Dayak Kubint yang masih terus dilestarikan hingga saat ini. Salah satunya adalah budaya <em>bejopai nugal</em>. Sebagai tradisi turun-temurun, masyarakat suku Dayak Kubint melakukan budaya <em>bejopai nugal</em> untuk menandai musim tanam yang akan dilakukan di ladang. Terdapat tiga kegiatan penting dalam budaya <em>bejopai nugal</em>, yaitu pemberkatan benih beserta alat-alat yang digunakan; pembagian tugas; dan <em>ngumpan gana tanah arai</em>. </span>Peneliti akan mengeksplorasi nilai-nilai keilahian dalam budaya bejopai nugal suku Dayak Kubint <span lang="EN-US">dan </span>menguraikan tentang konflik yang dihadapi masyarakat dalam mempertahankan budayanya tetapi tetap setia juga pada kepercayaan agamanya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan alat pengumpulan data berupa wawancara. Nilai-nilai keilahian pada pemberkatan benih beserta alat-alat yang digunakan pada budaya <em>bejopai nugal</em> adalah Allah merupakan sumber berkat utama bagi manusia. Nilai-nilai keilahian pada pembagian tugas adalah Allah menciptakan manusia sebagai perempuan dan laki-laki yang memiliki keunikannya masing-masing untuk saling melengkapi dan membantu. Nilai-nilai keilahian pada <em>ngumpan gana tanah arai</em> adalah Allah merupakan dasar, dan segala sesuatu yang ada didunia ini bersumber dari Allah. Terdapat masalah besar tentang konflik antara kepercayaan tradisional <span lang="EN-US">dengan </span>ajaran <span lang="EN-US">G</span>ereja Katolik<span lang="EN-US">. Hal ini dapat dilihat dari budaya <em>bejopai nugal</em> yang diawali dengan melakukan doa bersama-sama untuk memohon berkat kepada Tuhan. Tetapi diakhiri juga dengan kegiatan untuk memberi makan kepada roh-roh tanah dan air. Hasil penelitian ini penting agar </span>masyarakat suku Dayak Kubint dapat mengintegrasikan iman secara penuh kepada Tuhan dengan budaya lokal, sehingga tercipta sebuah persekutuan yang kuat, berakar pada tradisi tetapi berlandaskan pada ajaran Kristen yang sejati.</div> Monika Anisa Putri A, Martinus, Herkulanus Pongkot Copyright (c) 2024 Monika Anisa Putri A, Martinus, Herkulanus Pongkot https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/477 Fri, 22 Nov 2024 00:00:00 +0000 Sekilas tentang Dayak [Pangin] Orung Da’an di Desa Nanga Raun Kabupaten Kapuas Hulu https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/504 <table> <tbody> <tr> <td width="560"> <p>The primary aim of this research article is to thoroughly explore and articulate the significance of Dayak Orung Daan within the diverse Dayak tribes in Kapuas Hulu, West Kalimantan. Dayak Orung Daan embodies invaluable cultural, historical, and traditional wisdom that must be conserved and seamlessly integrated into human cultural life systems. This integration is imperative in light of the potential erosion of cultural values amidst rapid development. The article seeks to illuminate the socio-cultural dimensions of Dayak Orung Daan, encompassing both historical and contemporary perspectives. The study employed ethnographic methods, including observations, resident interviews, and document and literature analysis. The research revealed substantial socio-cultural wealth in the life, history, belief systems, and philosophy of Dayak Orung Daan. Furthermore, it highlighted the enduring presence of cultural traditions governing the social order of the Dayak Orung Daan community amid social disruption.</p> <p>Keywords: Dayak Orung Daan, socio-cultural, disruption</p> </td> </tr> </tbody> </table> Gustaf Hariyanto, Florensius Sutami, Florentina Copyright (c) 2024 Gustaf Hariyanto, Florensius Sutami, Florentina https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/504 Fri, 22 Nov 2024 00:00:00 +0000 Konsep Etika Medis Sebagai Larangan Membunuh Dalam Kasus Eutanasia https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/366 <p>Eutanasia, tindakan mengakhiri hidup seseorang secara sengaja untuk mengakhiri penderitaan, telah menjadi isu kontroversial dalam bidang kesehatan dan etika medis. Artikel ini mengeksplorasi konsep etika medis sebagai landasan larangan membunuh dalam konteks eutanasia. Konsep etika medis melibatkan prinsip-prinsip dasar seperti otonomi pasien, keadilan, dan kemanusiaan, yang berkolaborasi untuk membentuk kerangka kerja etis dalam praktik medis. Artikel ini membahas perdebatan seputar eutanasia, menggali dampaknya terhadap pasien, keluarga, dan tenaga medis. Analisis melibatkan tinjauan terhadap prinsip etika, serta perspektif moral yang berkembang dalam masyarakat. Selain itu, dampak legal eutanasia di berbagai yurisdiksi turut dipertimbangkan. Penekanan diberikan pada konflik antara hak individu untuk mengakhiri penderitaan dan tanggung jawab etis tenaga medis untuk mempromosikan dan melindungi kehidupan. Penelitian ini menyoroti pentingnya memahami dan menghormati nilai-nilai kultural, agama, dan sosial yang dapat mempengaruhi pandangan terhadap eutanasia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep etika medis, dengan landasan pada prinsip-prinsip fundamental, dapat memberikan panduan yang kuat dalam menilai dan memahami kontroversi seputar eutanasia. Implikasi etis dari praktik ini memerlukan perhatian serius terhadap perbandingan nilai dan norma dalam masyarakat yang semakin multikultural dan pluralistik. Penelitian ini mendorong untuk mempertimbangkan pendekatan holistik dan berbasis nilai dalam menangani kasus eutanasia, untuk mencapai keseimbangan antara otonomi pasien, keadilan, dan kewajiban etis tenaga medis.</p> <p><strong>&nbsp;</strong></p> Julio purba kencana Copyright (c) 2024 Julio purba kencana https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/366 Sun, 22 Dec 2024 00:00:00 +0000 Perjumpaan Sebagai Jalan Pemenuhan “Aku” (Sebuah Tinjauan Teologis Praktis Pemikiran Yohanes Paulus II dan konsep Aku “ada-belum-penuh”) https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/40 <p style="margin: 0in; text-align: center;" align="center"><strong><span style="font-size: 10.0pt;">Abstract</span></strong></p> <p style="margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-size: 10.0pt;">The focus of the discussion in the paper is Dialog in Encounter of the "I" Philosophy, a philosophical review of Armada Riyanto and John Paul II's thoughts on dialogue. The fact that the world is multidimensional is unavoidable. Within this plurality, for example, each religion has a <em>claim of truth.</em>Living together in society is a calling. Therefore, the presence of one human in the midst of another human must be a blessing. Every human being must have openness to each other, so that life together becomes more beautiful. However, it cannot be denied that in life together, every human being has his or her own freedom. It becomes a problem when humans abuse their freedom, causing conflict in the midst of life together. Every human being with all his circumstances also has freedom and will. This fact shows that humans need dialogue so that in life together they can respect and understand each other, so as to create a harmonious and peaceful life. The methodology used is literature study. Reading the thoughts of John Paul II from several documents, then having a dialogue with the concept of "I am not yet full" in Riyanto's Fleet Relationality philosophy. I discovered that there is no human being who has experienced fullness or perfection in himself. I am "not yet full" need a relationship with others, so that the empty part of me is filled and fulfilled. Encounters with others actually make one person more complete. Humans who have dialogue are humans who are headed for change and development.</span></p> Kristinus Sutrimo Copyright (c) 2022 Borneo Review https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/40 Tue, 24 Dec 2024 00:00:00 +0000 Menggali Makna Kebudayaan Ritus Dalok Masyarakat Dayak Uud Danum (Tinjauan Filosofis Konsep Simbol Kebudayaan Ernst Cassier) https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/301 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna-makna kebudayaan yang terkandung dalam ritus <em>dalok. </em>Ritus <em>dalok </em>biasanya merupakan ritus untuk mengangkat tulang belulang leluhur yang telah meninggal belasan sampai puluhan tahun. Selain kegiatan angkat tulang, dalok juga bisa dilakukan dengan menyemen makam leluhur yang sudah meninggal. Proses ritus kebudayaan ini bisa berlangsung tiga sampai tujuh hari. Tujuan penelitian ini memberikan pemahaman kepada pembaca tentang makna budaya <em>dalok </em>Masyarakat Dayak Uud Danum di provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tiga pertanyaan penuntun sebagai cara mendeskripsikan pembahasan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan buku-buku Ernst Cassirer dan juga buku-buku kebudayaan. Dalam penelitian ini, penulis menemukan makna budaya dari ritus <em>dalok </em>yaitu mengandung makna penghormatan manusia terhadap Ranying Hatalla dan roh leluhur yang merupakan sesuatu yang bersifat metafisik. Penghormatan ini akan mengalirkan nilai-nilai yaitu berupa ketaatan, hormat dan sikap tanggung jawab untuk merawat dan mengembangkan adat-istiadat.&nbsp; &nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;</p> Andreas Copyright (c) 2024 Andreas https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/301 Mon, 30 Dec 2024 00:00:00 +0000 Implementasi Tari Karo Dalam Liturgi Inkulturasi Berdasarkan Ideologi Mehamat Man Kalimbubu https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/382 <p>Inkulturasi Liturgi tidak bisa dipungkiri menjadi tema yang sangat signifikan dalam proses pewartaan iman Katolik di tengah bangsa-bangsa di dunia. Kebutuhan akan pentingnya memasukkan nilai-nilai budaya dalam liturgi Katolik menjadi sagat penting mengingat beragamnya budaya dan cara umat memahami iman Katolik. Menggunakan unsur-unsur budaya dalam liturgi Katolik menjadi alat bantu bagi umat untuk lebih memahami makna dan nilai dari kekatolikan itu sendiri . Budaya Karo adalah salah satu dari sekian banyak budaya di Indonesia yang menjadi topik dari penelitian ini. Penggunaan tari dalam ritus persiapan persembahan tampaknya dapat dilakukan dalam konteks inkulturasi liturgi melihat adanya kesamaan-kesamaan nilai dalam adat Karo maupun nilai dari ritus persembahan itu sendiri. Ideologi <em>mehamat man kalimbubu </em>dan bagaimana masyarakat Karo menghidupi nilai-nilai itu, tampak dalam penggunaan tari sebagai bentuk penghormatan mereka kepada <em>kalimbubu, </em>khususnya adalam ritus <em>mbaba kampil.</em> Ritus ini dapat digunakan sebagai dasar dari proses inkulturasi. Penggunaan tari Karo sebagai ekspresi ideologi <em>mehamat man kalimbubu</em> dalam ritus persembahan diharapkan dapat membuka pintu kepada pemahaman akan nilai-nilai kekatolikan. Selain itu, melibatkan komunitas Karo secara aktif dalam proses inkulturasi liturgi juga dapat menjadi langkah lebih lanjut. Memungkinkan partisipasi langsung dari umat dalam menyelenggarakan ibadah dengan sentuhan budaya lokal mereka sendiri dapat meningkatkan rasa memiliki dan kedekatan spiritual. Hal ini bisa mencakup penggunaan bahasa lokal dalam doa-doa atau pembacaan kitab suci, sehingga memudahkan umat Karo untuk meresapi ajaran Katolik dalam konteks budaya mereka.</p> Duen Ginting, Purwanti Purwanti, Yohanes Dona, Antonius Yuan Fimanda, Marianus Daslan, Orlinus Oyan Copyright (c) 2024 Duen Ginting, Purwanti Purwanti, Yohanes Dona, Antonius Yuan Fimanda, Marianus Daslan, Orlinus Oyan https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/382 Mon, 30 Dec 2024 00:00:00 +0000 Konsep Gotong Royong dalam Tradisi Wuat Wa’i Desa Latung Manggarai Perspektif Heidegger: Sebuah Analisis Filsafat Metafisika https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/294 <p>This article focuses on the concept of mutual cooperation in the <em>wuat wa’i</em> tradition of Latung Manggarai Village in Heidegger's perspective. The concept of mutual cooperation is very strong and has even become a tradition that has been passed down from generation to generation in Latung Village Manggarai NTT. This concept is lived out in the tradition of <em>wuat wa’i</em> as a provision for travel in continuing school to the next level. In principle, for the Manggarai people, life is always related to other people. The purpose of this article is to understand and analyze the concept of gotong royong in the tradition of <em>wuat wa’i</em> in Latung Village Manggarai in Heidegger's perspective, as well as to find the relationship between the concept and Heidegger's metaphysical concepts. In compiling this article, the author uses a qualitative method in the form of descriptive-interpretative through literature sources from books, journals, and other reading sources both offline and online, which then become the author's critical notes and the author uses the interview method directly with several traditional leaders in Latung Village. The findings of this research show that the concept of mutual cooperation in the <em>wuat wa’i</em> tradition in Latung Village Manggarai has a deep and complex meaning in Heidegger's perspective. This concept can be connected to Heidegger's metaphysical concepts such as existence, being, and truth. In addition, the concept of gotong royong also has philosophical values that can be applied in everyday life. This concept shows that humans cannot live alone and need help from others to achieve their life goals. In Heidegger's perspective, the concept of mutual cooperation can be connected to the concept of das sein or human existence which is always in a relationship with others.</p> Sirilus Jebar Copyright (c) 2024 Sirilus Jebar https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 https://ejournal.stakatnpontianak.ac.id/index.php/borneo-review/article/view/294 Mon, 30 Dec 2024 00:00:00 +0000